By Dr. Firman T. Endipradja
SEPERTI disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam gelaran Media Briefing, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (8 Maret 2024) bahwa pemerintah (Jokowi, pen) berencana menerapkan kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Menurut Airlangga, dapat dipastikan berbagai ketentuan yang telah dirumuskan dan diterbitkan dalam pemerintahan Presiden Jokowi, termasuk penyesuaian tarif PPN, bakal dilanjutkan pada pemerintahan selanjutnya (pemerintahan Prabowo, pen). Masyarakat telah memilih untuk mendukung keberlanjutan dari pemerintahan Presiden Jokowi, sehingga ketentuan kenaikan PPN tetap dilaksanakan. “Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan, tentu kalau berkelanjutan berbagai program yang dicanangkan pemerintah tentu akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN”. Demikian kata Airlangga.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI DPR, Senin 25/11/2024 menegaskan bahwa, tarif PPN yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan. Presiden Prabowo juga sudah mengumumkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen (
https://Liputan6.com) dan Pemerintah telah menyiapkan kenaikan PPN 12% meski mendapat penolakan (Tech in Asia Indonesia https://id.techinasia.com › pemerin...)
Meskipun kenaikan PPN ini adalah amanat UU HPP (aspek Yuridis) yang sebenarnya juga PPN bisa berubah antara 5 - 15 % (Pasal 7 ayat 3), akan tetapi pemerintah juga wajib mempertimbangkan aspek Sosiologis dan Filosofis/Keadilan (Keadilan Sosial/Kesejahteraan Rakyat). Naiknya PPN akan membuat harga barang ikut naik dan sangat mempengaruhi daya beli. Masyarakat tentu merasakan sejak bulan Mei 2024 daya beli terus merosot. Kalau PPN dipaksakan naik, niscaya daya beli makin merosot. Kenaikan tarif PPN saat ini berpotensi memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, meningkatkan inflasi hingga menekan daya saing investasi.
Hal itu menurut kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam Laporan Seri Analisis Makroekonommi Indonesia Economic Outlook 2025. Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.
Sebagai pajak yang langsung diterapkan pada barang dan jasa, PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi. Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan.
Terlebih informasi mengenai rencana kenaikan tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan terjadinya dua kali kenaikan harga barang dan jasa. Pertama sebelum kebijakan itu resmi diumumkan/diberlakukan harga barang dan/atau jasa sudah pada naik, kemudian pada saat diumumkan kenaikan harga² pasti naik, sehingga beban yang harus ditanggung konsumen adalah duakali kenaikan harga², terlebih menghadapi natal, tahun baru dan menjelang ramadhan/idul fitri.
Upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak seharusnya tidak dilakukan dengan membebani rakyat kecil tapi memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak pada korporasi besar dan individu kaya. Pemerintah perlu melakukan terobosan lain dalam meningkatkan pemasukan negara selain melalui pajak.
Kenaikan PPN dapat menyebabkan peningkatan tax avoidanceatau tax evasion terutama di sektor-sektor yang memiliki tingkat informalitas yang tinggi atau pengawasan yang terbatas. Risiko ini mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN.
Penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN menjadi 12% di 1 Januari 2025 yang saat ini sebesar 11% terus bergulir. Berbagai gerakan dilakukan mulai dari ajakan demo di depan istana Negara, Peringatan Darurat, bahkan sejak November 2024 sudah ada petisi di media sosial yang mengajak masyarakat untuk menandatangani agar pemerintah segera membatalkan kenaikan PPN.
Kenaikan PPN 12% akan juga disusul dengan kenaikan paling tidak ada delapan komponen keuangan masyarakat di tahun 2025, yakni : 1.Kenaikan PPN jadi 12 persen (Dasar Hukum UU HPP 2021); 2.Opsen pajak (Surcharge Tax) Kendaraan Bermotor (Dasar hukum UU No.1/2022 tentang HKPD); 3.Asuransi Wajib Kendaraan Pihak Ketiga (Dasar Hukum UU No.4/2023); 4.BPJS Kesehatan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) (Perubahan tarif, Dasar Hukum Perpres No.59/2024); 5.Perubahan KRL berbasis NIK (Dasar Hukum RAPBN 2025); 6.Uang Kuliah Tunggal (Dasar Hukum Kepmendikbudristek No.54/2024); 7.Dana Pensiun Wajib Pekerja (Dasar Hukum UU No.4/2023); 8.Perubahan subsidi BBM jadi BLT (Dasar Hukum belum terbit).
Rencana menaikan kembali PPN ditambah dengan kenaikan² lainnya, merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, akan kena PPN/akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat, pengangguran dan upah belum juga berada di posisi yang baik.
Dengan fakta seperti itu, secara sosiologis masyarakat akan mencari alternatif seperti mendapatkan barang2 yang tidak terkena pajak diantaranya barang selundupan atau mencari dana yang cepat seperti pinjaman online atau judi online yang saat ini tengah menjadi masalah hukum tersendiri.
Di berbagai kesempatan Presiden Prabowo Subianto menyampaikan dukungannya untuk menghapuskan Kelaparan dan Kemiskinan, yang terakhir Presiden Prabowo menghadiri peluncuran inisiatif - Global Alliance Against Hunger and Poverty'- dalam rangkaian KTT G20 yang berlangsung di Museum of Modern Art (MAM), Rio de Janeiro, Brasil, Senin (18/11/2024).
Salah satu penyebab kemiskinan adalah merajalelanya korupsi. Namun banjir kritik terhadap rencana Presiden Prabowo untuk memaafkan Koruptor asal uang hasil korupsinya dikembalikan, "itu menurut Hukum tidak boleh" kata mantan Menko Polhukam Mahfud MD.
Di sisi lain, dalam beberapa pidatonya Presiden Prabowo menekankan pentingnya Kesejahteraan Rakyat. Namun dengan akan dilaksanakannya kebijakan PPN ini yang memberatkan rakyat hal ini dapat dilihat sebagai paradoks dan inkonsisten dalam melaksanakan tujuan negara yang diamanatkan konstitusi. Cukup banyak air mata rakyat yang menetes akibat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.
Di sisi lain, Rancangan Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang menyasar sektor pendidikan menunjukan Pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga menjadikan pajak sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara. Inilah kebijakan perpajakan nasional yang memilukan.
Gelombang protes/penolakan dari kalangan kampus, buruh, mahasiswa, tokoh masyarakat hingga partai politik tampaknya tidak menyurutkan pemerintah Prabowo (meski belum 100 hari), untuk menerapkan PPN 12% yang membebani masyarakat. Bak anjing menggonggong kafilah berlalu, rakyat berteriak menolak kenaikan PPN 12% ini, tapi kebijakan pemerintah yang membebani rakyat akan terus dilaksanakan, sementara para wakil rakyat bungkam dan partai politik "cakar-cakaran", saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab atas asal usul kenaikan PPN 12 Persen, maka tak heran jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan melawan dengan mengambil tindakan ekstrim seperti tindakan memboikot untuk sama sekali tidak membayar semua pajak atau perlawanan dalam bentuk lain yang lebih ekstrim. (***)
*) Penulis : Dr. Firman T. Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum, Dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI 2020 – 2023/Ketua Umum HLKI Jabar Banten DKI Jakarta.