Notification

×
Link Bisnis All Right Reserved - Published By Mahesaweb

Iklan


ADVERTISEMENT

Iklan cv


ADVERTISEMENT

Tag Terpopuler

Harkonas: Melihat 24 tahun Nasib Konsumen Indonesia [Catatan untuk revisi UUPK]

4/19/2023 | 00:44 WIB | 0 Views Last Updated 2023-04-18T17:47:22Z

By: Firman Turmantara Endipradja



MELALUI Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2012, pemerintah telah menetapkan tanggal 20 April sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas) yang mulai diperingati sejak tahun 2013 hingga sekarang. Tanggal 20 April diperingati sebagai Harkonas, sesuai dengan saat disahkannya Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999 oleh Presiden BJ Habibie dan diberlakukan satu tahun kemudian yaitu tanggal 20 April 2000.


Sebelumnya, tanggal 15 Maret seluruh dunia memperingati Hari Konsumen Dunia. Dalam memperingati hari konsumen, kita semua sebagai konsumen diingatkan kembali akan hak-hak konsumen yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen nasional maupun regulasi dunia. Peringatan Harkonas merupakan momentum untuk meningkatkan pemahaman hak dan kewajiban konsumen, meningkatkan kecerdasan dan kemandirian konsumen serta meningkatkan nasionalisme tinggi dalam jiwa sosial kemanusiaan. Disamping itu, penetapan Harkonas sendiri ditujukan agar semakin banyak pihak yang termotivasi membangun konsumen yang cerdas dan pelaku usaha yang semakin memiliki etika dalam usahanya.


Karena setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen. Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dll. Semua rakyat adalah konsumen. Konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.


Hak konsumen telah diatur dalam UUPK, demikianpun hak-hak dasar umum (hak asasi) konsumen diakui secara internasional. Hak-hak tersebut pertama kali disuarakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui "A special Message for the Protection of Consumer Interest" yang dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right". Dalam literatur umumnya disebut "empat hak dasar konsumen" (the four consumer basic rights). 


Hak-hak dasar itu dideklarasikan meliputi : Hak untuk mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety); Hak untuk memilih (the right to choose); Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed); dan Hak untuk didengarkan (right to be heard). Setelah itu, Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan  konsumen yang perlu dilindungi. Dan tepat hari ini, 


Negara Belum Hadir Secara Maksimal

Harkonas lahir dari UUPK yang sudah berusia 24 tahun sejak saat diterapkannya, dengan tujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


Harkonas dilatar belakangi oleh adanya keprihatinan persoalan perlindungan terhadap konsumen di Indonesia yang belum dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, meski keberadaan UUPK sudah 24 tahun. Sedangkan arti Perlindungan Konsumen sendiri adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen guna mewujudkan konsumen cerdas dan mandiri.


Kasus pengaduan konsumen dari tahun ke tahun yang masih tinggi dan banyaknya sengketa konsumen yang belum juga tuntas, kriminalisasi terhadap konsumen yang kritis, serta berbagai permasalahan yang tidak terlaporkan oleh karena konsumen tidak mengetahui hak dan kewajibannya, membuat betapa pentingnya perlindungan kepada konsumen lewat peringatan Harkonas. Konsumen adalah kekuatan besar bagi suatu negara dalam membangun perekonomiannya.


Politik Hukum Paradigma Baru

Saat ini dinamika, perkembangan serta tantangan perlindungan konsumen sangat kompleks. Hal ini dapat terlihat dengan kuatnya pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perubahan ekonomi global (konflik dagang antara Amerika dan China) dan kondisi alam, serta ekses perkembangan era revolusi industri/era disrupsi.


Kompleksitas persoalan perlindungan konsumen secara kongkrit dapat kita lihat dengan adanya kasus-kasus nasional maupun internasional seperti, ketidakpastian konsumen dalam membayar iuran BPJS Kesehatan pasca putusan Mahkanah Agung serta pelayanan kesehatan yang diterimanya; Sanksi pemberhentian pelayanan publik terhadap konsumen penunggak iuran BPJS Kesehatan; Hak-hak konsumen akibat penipuan yang dilakukan perusahan investasi bodong, pinjaman online; Hak-hak konsumen akibat gagal bayar oleh perusahaan asuransi pemerintah (Bumiputera, Jiwasraya, Asabri); Hak konsumen untuk memperoleh alat-alat, pelayanan kesehatan dan obat-obatan untuk mencegah corona; Posisi konsumen dalam perjanjian berdasarkan alasan Force Majeure Covid-19. Kasus perumahan, polemik impor barang bekas, masalah minyak goreng yang berkepanjangan, kenaikan ongkos haji, BBM, gas 3 kg, listrik, dll.


Selain itu, kedudukan konsumen akibat ekses dari Omnibus Law Cipta Kerja, Omnibus Law Keuangan, Omnibus Law Kesehatan; Posisi konsumen yang saat ini berada dalam struktur pasar monopoli dan kartel yang cenderung digiring untuk memilih atau membeli produk dan jasa dari kaum monopolis. Belum lagi terkait upaya penguatan terhadap lembaga/badan2 perlindungan konsumen, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang tersebar di kabupaten/kota se Indonesia, serta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang belum memperoleh perhatian serius dari pemerintah.


Dalam perspektif yuridis, sinkronisasi antara pengaturan perlindungan konsumen yang semula diselenggarakan oleh kabupaten/kota dialihkan ke provinsi yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015, dengan UUPK, sampai saat ini masih menyisakan "pekerjaan rumah" yang belum selesai.


Sementara, harmonisasi UUPK dengan UU lain pun belum terlihat selaras (selalu dikesampingkan), seperti UUPK dengan UU OJK, UU Jaminan Fidusia, UU Perbendaharaan Negara, UU Kesehatan, UU ITE. Hal ini karena UUPK dianggap sebagai UU General/UU Umum yang bisa dikesampingkan oleh UU lain melalui penerapan asas Lex specialis derogat legi generali. Padahal menurut politik hukum UUPK yang tercantum dalam Penjelasan, disebutkan bahwa "UUPK merupakan payung yang mengintegrasikan (UU lain/complementary act-pen) dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen."


Secara sosiologis, dengan adanya beberapa kebijakan terkait pencegahan penularan virus corona, seperti work from home, social/physical distancing, dan lockdown dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang jika dilanggar bisa dipidana, serta kebijakan asimilasi dan integrasi terhadap penghuni lapas, mengakibatkan kebebasan konsumen untuk memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari (sekaligus mencari nafkah) juga terganggu. Termasuk konsumen yang menyampaikan haknya sesuai UUPK, yaitu untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan terhadap pemerintah bisa dijerat dengan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang ancaman untuk "mempolisikan" warga yang salah bicara. Persoalan lain adalah mengenai ketidakpastian Relaksasi kredit dari lembaga keuangan, dan ancaman dikejar2 Debt Collector.


Belum tercapainya sasaran strategi nasional, action plan, roadmap dan standarisasi pelayanan perlindungan konsumen, terutama dalam hubungannya antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta antara kementerian/lembaga. Sementara keberdayaan konsumen Indonesia relative masih rendah.


Melihat problematik perlindungan konsumen dengan spektrum luas yang kompleks dan semakin tidak mengenal batas nilai dan norma yang konvensional lagi, untuk langkah-langkah perlindungan konsumen nasional ke depan, diperlukan strategi baru dalam manajemen penyenggaraan perlindungan konsumen.


Dengan kata lain, inti persoalan perlindungan konsumen bermuara pada 5 hal yang perlu dibenahi, yakni : (1) Pembenahan, harmonisasi & pengadaan hukum baru (peraturan perundang-undangan); (2) Peningkatan dan pengadaan sarana prasarana (fasilitas); (3) Pemberdayaan sdm/aparat baik kualitas maupun kuantitas; (4) Budaya hukum masyarakat; dan 

(5) Political will untuk melindungi konsumen secara konsisten dan simultan.


Untuk mencapai kelima sasaran di atas, perlu disiapkan energi hukum baru untuk merancang politik hukum perlindungan konsumen dalam kondisi perekonomian nasional dan global pasca corona. Penyusunan rancangan politik hukum perlindungan konsumen perlu dibuat dengan paradigama baru dan ini tentunya memerlukan dukungan penuh dan mauan politik dari eksekutif maupun Legislatif.


*) DR. Firman Turmantara Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum./ Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan dan Pascasarjana Univ. Katolik Parahyangan/Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI.


×
Berita Terbaru Update