Notification

×
Link Bisnis All Right Reserved - Published By Mahesaweb

Iklan


ADVERTISEMENT

Iklan cv


ADVERTISEMENT

Tag Terpopuler

Logika Hukum Wajib Tes PCR Penerbangan: Antara Melandainya Kasus Corona dan Bergeraknya Perekonomian

10/23/2021 | 23:03 WIB | 0 Views Last Updated 2021-10-23T16:09:23Z

By Dr. Firman T Endipradja


Pemerintah
di masa pandemi ini tengah dihadapkan pada masalah untuk menyelesaikan krisis ekonomi dan kesehatan dalam waktu yang bersamaan. Namun dilema antara penanggulangan covid dengan menggerakan roda ekonomi itu agaknya saat ini menghadapi benturan ketika munculnya kebijakan dari pemerintah sendiri tentang persyaratan wajib tes PCR bagi penumpang pesawat, dan kebijakan ini telah menimbulkan pro kontra.


Adalah Ketua DPR RI Puan Maharani dalam keterangan tertulis, Jumat (22/10/2021) yang mempertanyakan kebijakan pemerintah memberlakukan tes PCR 2x24 jam sebagai syarat bagi pelaku perjalanan udara atau penerbangan. Aturan itu tercantum dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 yang mengatur soal PPKM Level 3, 2, dan 1 di Jawa dan Bali.


Padahal, menurut Puan, saat ini kondisi pandemi COVID-19 sudah membaik, berbeda ketika saat angka kasus masih tinggi, tes antigen saja diperbolehkan untuk syarat penerbangan. Syarat tes PCR akan memberatkan masyarakat mengingat fasilitas kesehatan di Indonesia belum merata; tidak semua daerah memiliki layanan tes PCR cepat. Puan juga heran ketika syarat penerbangan wajib menggunakan tes PCR untuk mengurangi penyebaran COVID-19. Di lain sisi, kapasitas penumpang pesawat dinaikan menjadi 100 persen.


Aturan penerbangan dalam negeri kembali berubah di tengah membaiknya situasi pandemi di Indonesia. Inmendagri 53/2021 di atas dinilai kontradiktif karena banyak aturan di dalamnya menyebut sejumlah daerah mengalami perbaikan dalam pengendalian penyebaran COVID-19 atau level PPKM-nya turun. Namun syarat untuk pengguna jasa transportasi udara justru diperketat mewajibkan semua penumpang wajib melakukan tes PCR. Inmendagri ini tampaknya juga bersifat diskriminatif, karena mewajibkan tes PCR hanya untuk penumpang transportasi udara saja, di mana biayanya lebih mahal dan prosesnya lama. Sementara itu, transportasi seperti bus, kereta api, dan kapal cukup antigen.


Fasilitas kesehatan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mengadakan tes PCR secara cepat. Sedangkan, setiap penumpang pesawat harus menunjukkan hasil PCR yang dilakukan maksimal H-2 sebelum keberangkatan. Oleh karena tes antigen masih menjadi instrumen resmi pemerintah dalam deteksi penyebaran COVID-19, diharapkan diakui sebagai syarat perjalanan dalam negeri.


Dalam perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), penumpang pesawat adalah konsumen yang memiliki hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan, tidak diperlakukan secara diskriminasi, serta memperoleh hak atas informasi yang jelas, benar dan jujur.


Hak-hak ini juga diakui secara internasional, dimana John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui "A special Message for the Protection of Consumer Interest" yang dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right" yang pertama kali menyuarakan hak-hak ini. Selain itu, Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan hak konsumen yang perlu dilindungi.


Sejalan dengan pendapat Ketua DPR, seyogyanya pemerintah menghadirkan kebijakan publik yang bijak dan memudahkan masyarakat. Kalaupun tes PCR diwajibkan, maka kualitas fasilitas kesehatan harus merata di semua daerah dan apabila tes PCR menjadi syarat wajib, harganya mesti diturunkan. Selain itu syarat perjalanan baik untuk transportasi darat, laut, dan udara bukan ranah Kemendagri, lebih tepat berada di Kemenhub.


Di sisi lain, dengan level PPKM di sebagian besar wilayah di Indonesia mulai menurun kebijakan tersebut kurang sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional serta tidak membantu program pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional. Dampak yang lebih luas, bukan hanya kepada industri penerbangan tapi juga kepada kegiatan sosial ekonomi nasional.


Agaknya kebijakan yang mewajibkan adanya test PCR dalam persyaratan penerbangan itu mengadung unsur diskriminasi dan tidak memiliki kepastian hukum, karena di moda transportasi lain tidak ada aturan seperti itu dan informasinya tidak jelas/membingungkan. Sedangkan arti Perlindungan Konsumen dalam UUPK itu sendiri adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen guna mewujudkan konsumen cerdas dan mandiri. (***)


*) Wakil Ketua 2 Bidang Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.

×
Berita Terbaru Update