Eddy Djunaedy M, ketua LPKSM LINKAR
Karawang l linkbisnis.co.id - Hampir seluruh masyarakat konsumen seluler mendapat SMS penawaran dari pelaku usaha telekomunikasi yang berisi SMS pengisian pulsa, promo, Nada Sambung Pribadi [NSP] dan sebagainya.
Konsumen juga mendapatkan SMS dari pihak ketiga yang berisi penawaran produk makanan, minuman, perbankan, barang elektronik, hingga properti.
Hal itu seharusnya, ada persetujuan lebih dulu dari konsumen, apakah mau menerima SMS penawaran atau tidak. Dikenal dengan istilah do not call register, artinya pelaku usaha jasa telekomunikasi tidak boleh mengirim sms penawaran kepada konsumen yang sudah menyatakan tidak setuju, ungkap ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat [LPKSM LINKAR], Eddy Djunaedy M., Selasa [11\11\2020].
"Operator seluler diharapkan tak mengirimkan SMS penawaran layanan tanpa persetujuan konsumen/pelanggan" harap Eddy.
Berkaitan dengan penawaran yang tidak berkaitan langsung dengan layanan yang digunakan pengguna, operator seharusnya memerhatikan kenyamanan konsumen, termasuk apakah konsumen mau menerima SMS penawaran seperti itu, ujar Eddy.
Dari perspektif hukum, dapat disampaikan hal sebagai berikut :
1. Pengiriman SMS penawaran tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemilik nomor telah melanggar Pasal 26 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE]. Dalam aturan itu disebutkan jika penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.
2. Perbuatan itu sudah melanggar/mengganggu kenyamanan konsumen, termasuk informasi yang tidak benar/tidak lazim, dan informasi yang disampaikan kepada konsumen tersebut tidak dilakukan secara benar [Melanggar Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999/UUPK];
2. Melanggar Standarisasi/Etika bisnis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat 1 UUPK Jo. Pasal 1337/1339 KUHPerdata.
3. Termasuk kategori Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan menurut UUPK bisa dikenakan sanksi perdata, pidana [maksimal 5 thn kurungan atau denda 2 milyar], maupun sanksi administrasi [pencabutan izin usaha].
By : Asep Suryaman