Oleh Firman Turmantara Endipradja
DALAM rangka membantu masyarakat yang sulit membayar cicilan kredit karena terdampak corona, pemerintah menggulirkan kebijakan keringanan kredit. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo yang menyatakan akan ada penundaan cicilan selama setahun dan penurunan bunga untuk kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bawah Rp 10 miliar. Penundaan cicilan selama setahun juga berlaku untuk kredit motor/mobil oleh ojek online dan sopir taksi, serta kredit perahu oleh nelayan.
Dilihat dari perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, pernyataan/kebijakan Presiden ini ditujukan bagi mereka sebagai konsumen sektor jasa keuangan yang telah memiliki/terikat oleh perjanjian dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan/PUJK (secara khusus hal ini diatur dalam SE OJK No.13 Tahun 2014 tentang Perjanjian Baku), dimana pengawasannya di bawah naungan OJK. Artinya dalam pelaksanaan kebijakan Presiden ini OJK harus mengamankan dan bertanggungjawab dalam mewujudkan, mengimplementasikan dan menjabarkan sesuai dengan kehendak dan tujuan Presiden. Hal ini lebih jelas dengan terbitnya POJK No. 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan _Countercyclical_ Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. (POJK 11/2020)
OJK sendiri berdiri didasarkan pada Undang-undang No. 21 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Selain itu dibentuknya OJK didasarkan pada amanat Pasal 34 UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU-BI). Pasal tersebut menyebutkan bahwa: tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen paling lambat 31 Desember 2002. Dalam perjalanannya UU-BI direvisi beberapa kali menjadi Undang-undang No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mana pembentukan OJK dilakukan paling lambat 31 Desember 2010. Konsideran UU OJK menyebutkan, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, disebutkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah.
Sementara yang disebut Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Melihat definisi dan uraian di atas, maka perusahaan dan konsumen yang terlibat dan bergerak dalam pinjaman online pun termasuk dibawah pengawasan OJK.
Sejauh ini, selain POJK No.11 Tahun 2020 yang berisi panduan bagi bank yang mau mendukung kebijakan stimulus perekonomian lewat restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak corona, OJK sebagai regulator industri jasa keuangan belum menerbitkan peraturan yang memerintahkan bank untuk menerapkan kebijakan seperti disebut Jokowi.
Selain itu, POJK Nomor 11 Tahun 2020 yang terbit pertengahan Maret lalu ini isi aturannya tidak spesifik seperti yang disampaikan Jokowi dan lebih bersifat himbauan bukan mengatur/menginstruksikan. Oleh karena itu kebijakan PUJK dalam memberikan keringanan cicilan kredit kepada masyarakat akan berbeda (kemungkinan bisa dikurangi atau disimpangi) dari maksud kebijakan yang disampaikan Presiden Jokowi. Sehingga masih banyak masyarakat yang mengeluh sulitnya memperoleh keringan kredit, sementara ditengah kurangnya penghasilan, tindakan debt collector dalam menagih konsumen terus menerus terjadi.
Agar kebijakan tepat sasaran, maka pedoman, prosedur, tata cara atau kriteria debitur yang bisa mendapatkan kelonggaran yang dibuat PUJK tetap harus dirundingkan, dicatat dan di bawah pengawasan OJK. Bahkan Presiden pun melalui bawahannya harus terus memonitor OJK dan mengawal secara intensif implementasi dan pelaksanaan kebijakan ini dijalankan di lapangan agar tidak diabaikan dan disimpangi dari maksud kebijakan sebenarnya yang sudah diumumkan kepada masyarakat.
*) DR. Firman Turmantara Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum.
~ Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.
~ Direktur LBH Konsumen Indonesia.
~ Ketua HLKI Jabar Banten DKI Jakarta.